Matahari
genap menyembunyikan dirinya. Bergantikan bulan yang sempurna bulat, sinarnya
terang menemani langkah kaki bersepatu hitam itu yang melangkah malas-malasan.
Langkah itu makin lama makin lambat, dilaluinya jalanan becek bekas guyuran
hujan dengan semangat yang tinggal 10 watt. Sesekali dilihatnya jam tangan
bulat warna biru tua di pergelangan tangannya yang kali itu menunjukkan pukul
delapan malam.
Sesekali
juga ia mendengus, mencoba berdamai dengan malam yang agak sepi dari biasanya.
Sisa-sisa guyuran hujan yang masih setia menemaninya yang kali ini berdiri di
tepian jalan, menunggu angkutan umum membawanya pulang ke rumah sepulang
kuliah. Tapi sayang, kali itu ia harus menyiapkan dua kali tenaga ekstra lebih
banyak karena angkutan yang ditunggu belum kunjung datang. Iapun semakin
mendengus, berharap segera bisa beristirahat di kamar petaknya yang nyaman dan
melepas penat setelah seharian menimba ilmu di Jakarta selatan.
Satu dua menit berlalu bergantikan jam, satu
dua kali pula ia melongok jam biru tua kesayangannya. Dan masih sama, angkutan
yang ditunggu tak kunjung datang. Fikirannya sudah melayang dia atas kasur
empuk di kamar petaknya dan membuncah ingin segera tidur dengan pulasnya.
Buncahnya keinginan itu membuat ia genap memutuskan kali itu ia harus pulang
dengan berjalan kaki, mencoba membuat kedua kakiknya mau berkompromi melewati
jalanan becek yang makin sepi dan melangkah beberapa meter menuju rumah. Lelah
di tubuh membuat perjalanan itu seperti berkilo-kilo meter jauhnya.
Iapun melegakan hati, mencoba menikmati
sepinya malam hari di sudut kota dengan fikiran positif. Berjalan kaki tidak
masalah baginya, semoga akan aman dari gangguan dan menuju kasur empuk
membuatnya menyegerakan langkah. Tak peduli keadaan sekitar, yang ia tahu ia
harus bergegas.
Akhirnya ia berjalan dengan langkah masih
malas-malasan, meninggalkan kumpulan orang-orang yang masih betah menunggu
angkutan umum denga setia. Sedang ia sama sekali tidak betah berlama-lama
menunggu, menggunakan jasa ojeg pun bukanlah pilihan asik saat itu baginya.
Angin malam yang akan menembus kencang tubuh lelahnya membuatnya khawatir esok
justru dirinya lebih ringkih dari hari ini. Maka berjalan kaki dengan
mengerahkan sisa tenaga adalah piihan terbaik.
Benar saja. Satu dua langkah kaki bersepatu
hitamnya mulai melangkah berirama. Menikmati sepotong malam di sudut kota yang
tak begitu buruk meski saat itu lebih sepi dari biasanya. Lampu-lampu jalan
yang berbaris rapi sepanjang jalan menemani, bulat rembulan pun tak mau kalah
menemaninya. Ia melewati satu blok kawasan warung makan. Kedai nasi goreng,
ayam goreng, bubur kacang hijau, sampai kedai sederhana yang menjajakan makanan
ala jepang. Semuanya ia lewati dengan tidak berselera mampir, toh suasana
pertokoan ikut lebih sepi dari biasanya. Semua sepi. Persis tak seperti biasanya.
Beberapa
meter lagi ia akan sampai di komplek perumahan tempat ia tinggal. Namun kakinya
lagi-lagi harus melangkah melewati dua blok sepi. Satu blok kawasan pertokoan
elektronik, satu blok lagi kawasan toko buku dimana ia sering menghabiskan
waktu membaca disana. Ia mendengus, sepinya malam membuat wajah blok-blok sudut
kota yang ia kenal mendadak asing. Terlebih tak seperti biasanya juga toko-toko
sudah tutup, menyisakan ia dengan langkah kakinya yang semakin gontai. Ia
mencoba tetap fokus, bayangan kasur empuk makin jelas di depan mata, menjadi
pemicu semangat agar ia cepat sampai di rumah.
Ia berhasil melewati kawasan sepi dengan aman.
Satu langkah lagi, satu tikungan lagi ia akan segera sampai komplek perumahan.
Semangatnya menggebu, meski lapar mulai menggelayuti perut kosongnya, ia makin
semangat. Ia harus melangkah melewati gerbang komplek yang anehnya saat itu tak
tampak wajah pak hasan, satpam komplek. Tapi ia tak berfikir macam-macam, ia
semakin melangkah dengan cepat, gerbang berhasil dilalui dan tinggal melewati
empat rumah ia akan sampai. Rembulan di atas sana masih bulat terang menemani,
membuatnya tak merasa sendiri malam itu.
Ternyata ia memang tak sendirian, sisa
langkahnya menuju rumah yang tinggal beberapa meter diikuti oleh langkah
lainnya. Langkah yang sama cepatnya mengejar berirama. Dilihatnya sekeliling
tak ada siapa-siapa bahkan tak ada pak hasan satpam komplek ataupun mang dodo
tukang becak yang biasa mangkal di ujung komplek. Ia mulai mendengus, kali ini
genap ia takut. Ia sendirian namun merasa tak sendiri, ada yang mengikutinya
tapi iapun tak tahu siapa dan dimana.
Ia bulatkan kembali fikiran positif, memicu
semangat dengan mengingat kasur empuk di kamar petaknya agar langkah cepatnya
semakin cepat. ia mungkin hanya mendengar suara aneh langkah kaki yang tak tahu
asal muasalnya karena ia sudah lelah. Satu dua rumah berhasil ia lewati, satu
rumah lagi berhasil ia lewati, genap tiga rumah. Artinya satu rumah lagi harus
ia lewati dan ternyata berhasil.
Dilihatnya jam tangan biru yang menunjukkan
pukul sepuluh malam, gerbang coklat tua rumahnya sudah memangil-manggil
membuatanya sedikit lega bahwa ia ternyata sudah sejauh ini aman. Suara aneh
langkah itu sudah tak terdengar, giliran ia memanggil-manggil orang rumah agar
membukakan pintu gerbang. Tapi lama tak ada respon. Dilihatnya sekeliling,
masih aman. Dipanggilnya lagi orang rumah tapi masih juga tak ada respon. Ia
kembali takut.
Sesekali ia melirik kanan kiri, menajamkan
telinga takut-takut langkah kaki tadi kembali menyapa. Dan benar saja,
konsetrasinya buyar karena langkah itu makin mendekat padanya. Ia berpacu
dengan waktu.menunggu orang rumah membuka gerbang terasa bagai menunggu
angkutan di tepi jalan, lama sekali. Ia putusan untuk memanjat gerbang coklat
rumahnya sendiri.
Tak mudah ternyata, ia kesusahan. Rok panjang
batiknya membuat usaha memanjat menjadi lebih sulit. Ditambah suara langkah
kaki semakin medekat membuatnya seribu kali lebih panik. Ia pasrah, ia urung
memanjat gerbang, kakinya lunglai. Iapun berdiri mematung menunggu apa yang
akan terjadi. Langkah kaki semakin jelas. Sedikit penasaran iapun membalikkan
tubuh lelahnya sambil berharap tak ada apa-apa dihadapan matanya. Namun ia
salah.
“huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!” Ia berteriak
spontan, pria tinggi besar dengan rambut kusut masai melilit lehernya dengan
syal hitam, kencang sekali. Membuatnya sulit melanjutkan teriakan. Tangannya
berusaha meronta dan matanya sulit menerka di kegelapan, tak bisa menebak siapa
sebetulnya pria asing itu, pria pemilik langkah kaki misterius yang benar-benar
sudah mengikutinya. Ia terus melawan dan terus melawan. namun apa daya ia
terlalu lemah.
“to,to,to long………… lepas, leppppas, to.
Long..” ia masih mencoba mengucapkan kata-kata berharap ada yang mendengar dan
menolongnya. Begitu terus, terus, sampai lehernya benar-benar sakit. Ikatan
syal itu semakin kuat. Melilitnya lebih kuat dan lebih kuat. Ia pasrah. Dan
akhirnya ada energy besar tiba-tiba masuk kedalam tubuhnya hingga ia berteriak
terakhir kalinya. “huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!”
“kring…. Kring…. Kring….” Suara dering jam
beker membuyarkan teriakan. Gadis itu terbangun dengan keringat mengucur deras,
di atas lehernya tersemat guling besar yang biasa ia peluk saat tidur. Ia
memegang lehernya perlahan. Bernafas lega karena ternyata baru saja ia mimpi
aneh, mimpi buruk. Ia fikir dirinya dicekik penjahat dengan syal sampai kehabisan
nafas.
Dilihatnya jam beker menunjukkan pukul dua
malam, ia bangun dari tidurnya. Mengumpulkan sisa-sisa lelah mimpi anehnya dan
menuju kamar kecil,mengambil wudhu untuk selanjutnya sholat malam. Sesekali ia
tersenyum sendiri menyangka dirinya dicekik pria aneh padahal ia sedang tidur
tertimpa guling besar tepat di lehernya. Iapun beristighfar, ia ingat saking
lelah dirinya sepulang kuliah tadi malam sampai lupa untuk berdoa sebelum mata
genap terlelap. Hal itu, membuatnya lebih berhati-hati. Bagaimanapun mimpi
buruk menyita energinya malam itu.
Diluar, rembulan bulat masih setia menemani
malam.