Hujan masih membasahi
bumi Bogor sejak satu jam yang lalu. Dan kini jam dinding biru laut di kamar
kos ku yang sederhana menunjukkan pukul dua siang tepat. Riak hujan diluar
ditambah gemuruh petir bersahut-sahut membuat siang hari kali ini sedikit lebih
gelap dan lebih dingin daripada siang-siang sebelumnya. Akupun terbawa suasana,
ku urungkan langkah kaki menuju perpustakaan kampus yang sebetulnya tak jauh
dari kos. Rencana mengerjakan tugas positif batal. Besok saja fikirku, toh hari
ini perkuliahan libur meski perpustakaan tetap buka.
Kutarik selimut dalam-dalam, menutupi seluruh tubuh
gempalku yang kedinginan sempurna merata, kecuali dari leher hingga kepala tak
tertutup selimut. Itu membuatku masih bisa memandang sekeliling kamar yang
sepi, karena tak ada Yoga teman sekamarku. Ia sudah berlalu entah kemana sedari
tadi pagi. Alhasil, merenung di kamar menjadi pilihan menarik disaat-saat
seperti ini.
Mataku terus menguliti isi kamar, mulai dari pemandangan
ruwet di sudut lemari bukuku sampai pojok meja belajar rapi hasil karya Yoga. ya,
dia memang lebih rapi dariku untuk urusan menata kamar. Tapi siapa yang tahu
urusan menata hati, bisa jadi aku juaranya. Yoga selalu galau dengan
perasaannya sendiri, pusing aku dibuatnya.
Pandangan mataku beralih ke atas meja kecil dekat pintu,
diatasnya tergeletak jam beker kotak kecil berwarna biru. Jam beker itu adalah
kenang-kenangan dari salah seorang teman perempuanku tiga tahun lalu. Teman
perempuan? Pacar? Bukan, bukan itu yang kumaksud. Ia tak lebih dari sekedar
teman biasa saja, teman satu kelas saat di SMA dulu.
Mengingat itu tiba-tiba saja jantungku berdegub aneh. Tak
seperti biasanya ketika selama ini kuperhatikan jam beker dari Nuri,temanku
itu. Tak ada efek macam-macam. Tapi kali ini aku sedikit gugup, suhu dingin
diluaran mendadak hangat sampai-sampai kulepas selimut tebal dari tubuhku.
“Ayolah Bagas, jangan bilang kalau kau mendadak galau
sepeti Yoga” desisku dalam hati. Aku sendiri masih heran. Apa yang harus aku
lakukan?
Hujan masih tak mau berhenti di luaran.
“Gas! Bagas!” Suara Ibu kos mengagetkan. Ia berteriak
dari beranda rumahnya sendiri di sebelah kamar kos ku.
“Ya Bu, sebentar” Aku keluar kamar dan berdiri di
beranda, saat hujan seperti ini dan tak ada payung, maka mengobrol antar
beranda menjadi aktifitas yang lebih seru.
“Ada apa Bu? Ada yang bisa Bagas bantu?” tanyaku padanya
yang berusaha mendengar suaraku yang kalah saing dengan suara derasnya hujan.
Ia sesekali mengernyitkan dahi dan memasang wajah konsentrasi mendengar dari
kejauhan.
“Gak ada apa-apa Gas” teriaknya
“Gak ada apa-apa? Lalu kenapa Ibu panggil saya? Biasanya
kalau Ibu panggil, saya diminta beli sesuatu ke warung. Kali ini Ibu mau saya
belikan apa? Insyaallah saya berangkat”
“iya, maksud ibu gak ada sesuatu yang penting, Cuma Ibu
pesen nanti sore kamu kerumah ya, ambil kue buat kamu dan Yoga. Kebetulan akan
ada tamu jauh, Ibu bikin kue tapi belum matang. Gak ada yang antar juga, repot
semua. Kamu ke rumah kalau hujan reda”
“Oh, begitu… kenapa gak kasih tau lewat sms saja Bu?”
“mana HP mu?” tanyanya
“di dalam”
“Sudah di cek?”
Aku menggeleng. Aku saja lupa dimana tepatnya HP ku
berada.
“makanya Ibu teriak dari sini, pasti kamu gak baca sms
Ibu, lama gak ada balasan”
Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal, merasa
bersalah.
“ya sudah, kamu masuk lagi. Hujan belum berhenti, nanti
kelamaan diluar bisa masuk angin. Inget ya, jangan lupa ambil kuenya nanti!”
teriak Ibu kos sambil berlalu masuk ke rumahnya.
“Mau aku bantu bikin kuenya Bu?” tawarku
“gak perlu, kamu istirahat saja dulu, jam lima sore kerumah
ya!”
Wush. Angin
berhembus. Ibu kos sudah berlalu dari hadapanku. Aku kembali ke kamar dan
melanjutkan ingatanku akan Nuri.
Nuri teman yang baik, amat baik. ia berbeda dengan
teman-teman perempuanku yang lain yang mungkin bisa dibilang agak nakal gaya
berpakaian atau sikapanya. Nuri terlihat anggun dengan jilbab lebarnya, saat
itu di zaman SMA masih jarang siswi di sekolah yang mengenakan jilbab lebar
sepertinya. Dan ia dengan jilbab lebarnya tak bersikap “ekslusif” pada teman
laki-laki seperti aku. Biasa saja. Tetap ramah dan baik hati.
“gas, mau kue?” tawar Nuri saat itu
di kelas. Aku hanya menggeleng, tidak mau. Tapi Nuri tak merubah senyumnya. Ia
beranjak menawarkan kue pada yang lain.
“udah kerjain PR gas?” tanyanya di
suatu hari. Aku mengangguk sekenanya. Iapun tetap tersenyum meski aku dingin
padanya. Dan masih banyak lagi sikap dinginku padanya namun ia tetap pada
senyum manisnya.
Hingga di penghujung perpisahan
kelas, kami sekelas mengadakan acara kecil-kecilan di sekolah, tukar kado dan
sedikit games seru. Tak terlupakan.
“ini kado buat Bagas…. Nuri kebagian
kertas bertuliskan nama bagas, artinya jatah kado Nuri buat Bagas” jelasnya
sambil memberikan bungkusan hijau muda yang tak lain berisi jam beker yang ada
di kamarku sekarang.
“Apa isinya?” aku mencoba tidak
dingin kali itu padanya. Mendengar aku mengucapkan pertanyaan, ia nampak
antusias.
“rahasia” jawabnya singkat namun
dengan senyum mengembang. “oh iya Gas, Nuri mau minta maaf” lanjutnya.
“Kenapa minta maaf?” aku heran
“Nuri mau minta maaf sama Bagas,
sama teman-teman yang lainnya juga. Selama sekolah bersama pasti Nuri banyak
salah. Nuri gak mau setelah perpisahan sekolah masih ada salah Nuri yang
tertinggal di hati. Apalagi Nuri juga mau pindah tempat tinggal. Siapa tau gak
ketemu lagi kan di kota Bogor kan?”
“ma.mau pindah kemana?” tanyaku
“Nuri mau pindah ke kota Waingapu,
Nusa Tenggara. Kampung halaman ayah”
“jauh sekali, kapan kembali ke
Bogor?” Nuri hanya mengangkat bahu, menandakan bahwa ia sendiri tak tahu kapan
akan kembali ke kota Bogor.
Mendengar ia akan pindah saat itu
ada perasaan aneh dalam diriku, persis seperti perasaan yang menyusup beberapa
waktu tadi. “oh, come on.. jangan galau” desis
hatiku.
“Kring!!!!!”
Kali
ini suara dering jam beker membuyarkan lamunan. Tak terasa jam menunjukkan
pukul 15.15. tepat dengan kumandang adzan ashar. Hujan di luar sedikit reda,
aku harus segera menunaikan sholat di masjid dekat kos. Dan bila perlu berdoa
banyak- banyak agar kegalauan yang aneh yang tiba-tiba hadir akan hilang.
Empat rakaat ashar selesai
kutunaikan. Kulanjutkan dengan berdoa agar kenangan akan Nuri terlupakan.
Bukan. Ini bukan berarti aku tidak suka mengingat dirinya, kebaikannya,
keramahannya, wajahnya. Namun saat ini, aku khawatir bayangan itu menjadi
harapan aneh, terlebih semenjak perpisahan itu kami tidak pernah komunikasi
sama sekali. Seharusnya tak ada pemicu bagiku memikirkannya. Aku simpulkan, ada
yang salah pada hatiku.
“Bagas,
kamu jatuh cinta.. “ Suara hatiku mulai mengusik.
Ku ambil mushaf Al quran dekat
mimbar Masjid. Kubaca ayat demi ayatnya dengan terus meluruskan hati. Heran.
Ada apa denganku hari ini?
Lembar demi lembar aku lalui dengan
baik, Alhamdulillah. Tak terasa sudah
pukul empat lewat lima puluh lima menit. Aku harus memenuhi janji pada ibu kos
bahwa aku harus ke rumahnya setelah ini. Mengambil kue lalu pulang secepatnya.
Rumah ibu kos pasti akan ramai dengan tamu jauhnya nanti.
Benar saja. Dua mobil sedan putih
sudah terparkir di depan rumah. Tamu jauh ibu kos sepertinya sudah datang.
Dengan langkah malu aku mengetuk pintu. Sekali, dua kali, belum ada respon.
Kulirik ruang tamu kosong, mungkin mereka semua di dalam atau di ruang
keluarga. Ku ketuk sekali lagi dan jika masih tidak ada respon aku akan pulang
saja.
“assalamualaikum..
“ sapaku. Dan tak ada tanda respon. Baiklah, aku putuskan pulang saja.
Kubalikkan badan sambil mengetik sms untuk Yoga.
“ga,
aku dirumah ibu kos tapi gd sapa2, aku balik y. tar km klo pulang mampir ambil
kuenya”
Tak
lama Yoga membalas sms
“maksudnya?
kue apa bro?”
“maaf, cari siapa mas?” sapa
seseorang membuatku urung membalas sms Yoga. Kubalikkan badan, suara itu tak asing
buatku.
“Bagas??? Hey… cari siapa Gas? Lama
ya gak ketemu”
Aku tercekat. Nuri. Ia berdiri di
depanku, lebih manis, lebih anggun dengan jilbab lebar ungu mudanya. Ya ALLAH,
apakah aku salah lihat? Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Gugup.
“ibu kos, a ada ibu kos?” aku
sempurna gugup
“ouh, kamu kos dekat sini? Ayo masuk
dulu, bude ada di dalam. Sekalian kita ngobrol-ngobrol. Tiga tahun lho gak
ketemu. Ternyata kamu anak kos budeku”
Aku akhirnya menjadi bagian mereka.
Mengobrol banyak-banyak di ruang keluarga. Ibu Nuri ternyata adik ibu kos.
Mereka jauh-jauh datang dari waingapu dan kabar baiknya Nuri akan tinggal di
rumah ibu kos, pindah kampus sementara ayahnya dinas ke New Zealand.
“kenapa Nuri gak ikut ayah saja ke
New Zealand dan kuliah disana?” tanyaku
“gak lah, jauh. Lagipula Nuri rindu
Bogor. Oh ya… berarti kita bakal satu kampus ya Gas.. wah.. gak nyangka” jelas
Nuri antusias, aku tercekat.
“apa?”
Aku baru sadar, Nuri pindah ke kampusku. Aku harus lebih ekstra menjaga
hati.
Obrolan berlalu menyenangkan. Aku
sudah kembali ke kamar kos, tak lupa kue brownies buatan ibu kos untuk Yoga
kubungkus dan kutaruh di atas meja belajar. Sementara aku menikmati sepotong
kue bagianku sambil kembali mentap jam beker dari Nuri. Senyum mengembang di
wajahku. Entah aka nada sepotong episode apa esok hari.
Kubuka Handphone, aku lupa untuk
membalas sms Yoga sebelumnya. Namun, sebelum aku mengetikkan sms, lima sms
masuk tertera di layar, aku belum membukanya dan tak sadar sedari tadi ada sms
masuk. Ternyata semuanya sms dari Yoga.
“kue apa sih bro?”
“ngapain kerumah ibu kos?”
“ada hajatan y bro?”
“woi, woi, bls dong smsny”
“aduuh, galau deh ah. Bls dong bls”
Aku hanya senyum-senyum sendiri membaca sms Yoga sembari menikmati kue
yang belum habis ku makan. Hujan diluar kembali turun perlahan. Udara mulai
kembali menggigit, namun kehangatan kisah pasti akan menemani hari-hariku
selanjutnya. InsyaALLAH.