Senin, 06 Oktober 2014

Ternyata

Matahari genap menyembunyikan dirinya. Bergantikan bulan yang sempurna bulat, sinarnya terang menemani langkah kaki bersepatu hitam itu yang melangkah malas-malasan. Langkah itu makin lama makin lambat, dilaluinya jalanan becek bekas guyuran hujan dengan semangat yang tinggal 10 watt. Sesekali dilihatnya jam tangan bulat warna biru tua di pergelangan tangannya yang kali itu menunjukkan pukul delapan malam.


Sesekali juga ia mendengus, mencoba berdamai dengan malam yang agak sepi dari biasanya. Sisa-sisa guyuran hujan yang masih setia menemaninya yang kali ini berdiri di tepian jalan, menunggu angkutan umum membawanya pulang ke rumah sepulang kuliah. Tapi sayang, kali itu ia harus menyiapkan dua kali tenaga ekstra lebih banyak karena angkutan yang ditunggu belum kunjung datang. Iapun semakin mendengus, berharap segera bisa beristirahat di kamar petaknya yang nyaman dan melepas penat setelah seharian menimba ilmu di Jakarta selatan.
 
picture from lakulintang.wordpress.com

Satu dua menit berlalu bergantikan jam, satu dua kali pula ia melongok jam biru tua kesayangannya. Dan masih sama, angkutan yang ditunggu tak kunjung datang. Fikirannya sudah melayang dia atas kasur empuk di kamar petaknya dan membuncah ingin segera tidur dengan pulasnya. Buncahnya keinginan itu membuat ia genap memutuskan kali itu ia harus pulang dengan berjalan kaki, mencoba membuat kedua kakiknya mau berkompromi melewati jalanan becek yang makin sepi dan melangkah beberapa meter menuju rumah. Lelah di tubuh membuat perjalanan itu seperti berkilo-kilo meter jauhnya.

 Iapun melegakan hati, mencoba menikmati sepinya malam hari di sudut kota dengan fikiran positif. Berjalan kaki tidak masalah baginya, semoga akan aman dari gangguan dan menuju kasur empuk membuatnya menyegerakan langkah. Tak peduli keadaan sekitar, yang ia tahu ia harus bergegas.

 Akhirnya ia berjalan dengan langkah masih malas-malasan, meninggalkan kumpulan orang-orang yang masih betah menunggu angkutan umum denga setia. Sedang ia sama sekali tidak betah berlama-lama menunggu, menggunakan jasa ojeg pun bukanlah pilihan asik saat itu baginya. Angin malam yang akan menembus kencang tubuh lelahnya membuatnya khawatir esok justru dirinya lebih ringkih dari hari ini. Maka berjalan kaki dengan mengerahkan sisa tenaga adalah piihan terbaik.

 Benar saja. Satu dua langkah kaki bersepatu hitamnya mulai melangkah berirama. Menikmati sepotong malam di sudut kota yang tak begitu buruk meski saat itu lebih sepi dari biasanya. Lampu-lampu jalan yang berbaris rapi sepanjang jalan menemani, bulat rembulan pun tak mau kalah menemaninya. Ia melewati satu blok kawasan warung makan. Kedai nasi goreng, ayam goreng, bubur kacang hijau, sampai kedai sederhana yang menjajakan makanan ala jepang. Semuanya ia lewati dengan tidak berselera mampir, toh suasana pertokoan ikut lebih sepi dari biasanya. Semua sepi. Persis tak seperti biasanya.

Beberapa meter lagi ia akan sampai di komplek perumahan tempat ia tinggal. Namun kakinya lagi-lagi harus melangkah melewati dua blok sepi. Satu blok kawasan pertokoan elektronik, satu blok lagi kawasan toko buku dimana ia sering menghabiskan waktu membaca disana. Ia mendengus, sepinya malam membuat wajah blok-blok sudut kota yang ia kenal mendadak asing. Terlebih tak seperti biasanya juga toko-toko sudah tutup, menyisakan ia dengan langkah kakinya yang semakin gontai. Ia mencoba tetap fokus, bayangan kasur empuk makin jelas di depan mata, menjadi pemicu semangat agar ia cepat sampai di rumah.

 Ia berhasil melewati kawasan sepi dengan aman. Satu langkah lagi, satu tikungan lagi ia akan segera sampai komplek perumahan. Semangatnya menggebu, meski lapar mulai menggelayuti perut kosongnya, ia makin semangat. Ia harus melangkah melewati gerbang komplek yang anehnya saat itu tak tampak wajah pak hasan, satpam komplek. Tapi ia tak berfikir macam-macam, ia semakin melangkah dengan cepat, gerbang berhasil dilalui dan tinggal melewati empat rumah ia akan sampai. Rembulan di atas sana masih bulat terang menemani, membuatnya  tak merasa sendiri malam itu.

 Ternyata ia memang tak sendirian, sisa langkahnya menuju rumah yang tinggal beberapa meter diikuti oleh langkah lainnya. Langkah yang sama cepatnya mengejar berirama. Dilihatnya sekeliling tak ada siapa-siapa bahkan tak ada pak hasan satpam komplek ataupun mang dodo tukang becak yang biasa mangkal di ujung komplek. Ia mulai mendengus, kali ini genap ia takut. Ia sendirian namun merasa tak sendiri, ada yang mengikutinya tapi iapun tak tahu siapa dan dimana.

 Ia bulatkan kembali fikiran positif, memicu semangat dengan mengingat kasur empuk di kamar petaknya agar langkah cepatnya semakin cepat. ia mungkin hanya mendengar suara aneh langkah kaki yang tak tahu asal muasalnya karena ia sudah lelah. Satu dua rumah berhasil ia lewati, satu rumah lagi berhasil ia lewati, genap tiga rumah. Artinya satu rumah lagi harus ia lewati dan ternyata berhasil.

 Dilihatnya jam tangan biru yang menunjukkan pukul sepuluh malam, gerbang coklat tua rumahnya sudah memangil-manggil membuatanya sedikit lega bahwa ia ternyata sudah sejauh ini aman. Suara aneh langkah itu sudah tak terdengar, giliran ia memanggil-manggil orang rumah agar membukakan pintu gerbang. Tapi lama tak ada respon. Dilihatnya sekeliling, masih aman. Dipanggilnya lagi orang rumah tapi masih juga tak ada respon. Ia kembali takut.

 Sesekali ia melirik kanan kiri, menajamkan telinga takut-takut langkah kaki tadi kembali menyapa. Dan benar saja, konsetrasinya buyar karena langkah itu makin mendekat padanya. Ia berpacu dengan waktu.menunggu orang rumah membuka gerbang terasa bagai menunggu angkutan di tepi jalan, lama sekali. Ia putusan untuk memanjat gerbang coklat rumahnya sendiri.

 Tak mudah ternyata, ia kesusahan. Rok panjang batiknya membuat usaha memanjat menjadi lebih sulit. Ditambah suara langkah kaki semakin medekat membuatnya seribu kali lebih panik. Ia pasrah, ia urung memanjat gerbang, kakinya lunglai. Iapun berdiri mematung menunggu apa yang akan terjadi. Langkah kaki semakin jelas. Sedikit penasaran iapun membalikkan tubuh lelahnya sambil berharap tak ada apa-apa dihadapan matanya. Namun ia salah.

 “huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!” Ia berteriak spontan, pria tinggi besar dengan rambut kusut masai melilit lehernya dengan syal hitam, kencang sekali. Membuatnya sulit melanjutkan teriakan. Tangannya berusaha meronta dan matanya sulit menerka di kegelapan, tak bisa menebak siapa sebetulnya pria asing itu, pria pemilik langkah kaki misterius yang benar-benar sudah mengikutinya. Ia terus melawan dan terus melawan. namun apa daya ia terlalu lemah.

 “to,to,to long………… lepas, leppppas, to. Long..” ia masih mencoba mengucapkan kata-kata berharap ada yang mendengar dan menolongnya. Begitu terus, terus, sampai lehernya benar-benar sakit. Ikatan syal itu semakin kuat. Melilitnya lebih kuat dan lebih kuat. Ia pasrah. Dan akhirnya ada energy besar tiba-tiba masuk kedalam tubuhnya hingga ia berteriak terakhir kalinya. “huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!”

 “kring…. Kring…. Kring….” Suara dering jam beker membuyarkan teriakan. Gadis itu terbangun dengan keringat mengucur deras, di atas lehernya tersemat guling besar yang biasa ia peluk saat tidur. Ia memegang lehernya perlahan. Bernafas lega karena ternyata baru saja ia mimpi aneh, mimpi buruk. Ia fikir dirinya dicekik penjahat dengan syal sampai kehabisan nafas.

 Dilihatnya jam beker menunjukkan pukul dua malam, ia bangun dari tidurnya. Mengumpulkan sisa-sisa lelah mimpi anehnya dan menuju kamar kecil,mengambil wudhu untuk selanjutnya sholat malam. Sesekali ia tersenyum sendiri menyangka dirinya dicekik pria aneh padahal ia sedang tidur tertimpa guling besar tepat di lehernya. Iapun beristighfar, ia ingat saking lelah dirinya sepulang kuliah tadi malam sampai lupa untuk berdoa sebelum mata genap terlelap. Hal itu, membuatnya lebih berhati-hati. Bagaimanapun mimpi buruk menyita energinya malam itu.

 Diluar, rembulan bulat masih setia menemani malam.


Tidak ada komentar: